Semua impian kita dapat menjadi nyata,

jika kita memiliki keberanian untuk mengejarnya.

Jika Anda menginginkan sesuatu yang belum pernah anda miliki,

anda harus bersedia melakukan sesuatu yang belum pernah anda lakukan.

Kehidupan itu ibarat naik sepeda,

anda tidak akan jatuh kecuali anda berencana untuk berhenti mengayuhnya.

Pikiran kita ibarat parasut,

hanya berfungsi ketika terbuka.

Sukses adalah sebuah perjalanan,

bukan tujuan akhir.

Sunday, November 22, 2009

Askep Anak Enchephalitis

ASKEP ANAK DENGAN ENCEPHALITIS

PENGERTIAN ENCHEPHALITIS

Ensefalitis adalah infeksi yang mengenai CNS yang disebabkan oleh virus atau mikro organisme lain yang non purulent.

PATOGENESIS ENCHEPHALITIS

Virus masuk tubuh pasien melalui kulit,saluran nafas dan saluran cerna.setelah masuk ke dalam tubuh,virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara:

  1. Setempat:virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ tertentu.
  2. Penyebaran hematogen primer:virus masuk ke dalam darah Kemudian menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.
  3. Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di Permukaan selaput lendir dan menyebar melalui sistem saraf.

Masa Prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremintas dan pucat .Gejala lain berupa gelisah, iritabel, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, kejang. Kadang-kadang disertai tanda Neurologis tokal berupa Afasia, Hemifaresis, Hemiplegia, Ataksia, Paralisis syaraf otak.

PENYEBAB ENCHEPHALITIS

  1. Penyebab Ensefalitis:
    1. Penyebab terbanyak : adalah virus. Virus yang menimbulkan adalah virus R N A (Virus Parotitis), virus morbilli, virus rabies, virus rubella, virus denque, virus polio, cockscakie (A,B), Herpes Zooster,varisella, Herpes simpleks, variola.
    2. Sering : Herpes simplex, Arbo virus
    3. Jarang : Entero virus, Mumps, Adeno virus
    4. Post Infeksi : Measles, Influenza, Varisella
    5. Post Vaksinasi : Pertusis
  2. Ensefalitis supuratif akut :
    1. Bakteri penyebab Esenfalitis adalah : Staphylococcusaureus, Streptokok, E.Coli, Mycobacterium dan T. Pallidum.

Gejala-Gejala yang mungkin terjadi pada Ensefalitis :

  1. Panas badan meningkat ,photo fobi,sakit kepala ,muntah-muntah lethargy, kadang disertai kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen.
  2. Anak tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku. Dapat disertai gangguan penglihatan ,pendengaran ,bicara dan kejang.

PATHWAY ENCHEPHALITIS

Download Pathway Enchefalitis Via Ziddu

PENGKAJIAN ENCHEPHALITIS

  1. Identitas
    1. Ensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur.
  2. Keluhan utama
    1. Panas badan meningkat, kejang, kesadaran menurun.
  3. Riwayat penyakit sekarang
    1. Mula-mula anak rewel ,gelisah ,muntah-muntah ,panas badan meningkat kurang lebih 1-4 hari , sakit kepala.
  4. Riwayat penyakit dahulu
    1. Klien sebelumnya menderita batuk , pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung,telinga dan tenggorokan.
  5. Riwayat Kesehatan Keluarga
    1. Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh : Herpes dll. Bakteri contoh : Staphylococcus Aureus,Streptococcus , E , Coli, dll.
  6. Imunisasi
    1. Kapan terakhir diberi imunisasi DTP, karena ensefalitis dapat terjadi post imunisasi pertusis.
  7. Pertumbuhan dan Perkembangan
  8. Pola Fungsi Kesehatan
    1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
      1. Kebiasaan
        1. sumber air yang dipergunakan dari PAM atau sumur ,kebiasaan buang air besar di WC,lingkungan penduduk yang berdesakan (daerah kumuh)
      2. Status Ekonomi
        1. Biasanya menyerang klien dengan status ekonomi rendah.
    2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
      1. Menyepelekan anak yang sakit,tanpa pengobatan yang sempurna
        1. Pemenuhan Nutrisi
        2. Biasanya klien dengan gizi kurang asupan makana dan cairan dalam jumlah kurang dari kebutuhan tubuh. Pada pasien dengan Ensefalitis biasanya ditandai dengan adanya mual, muntah, kepalah pusing, kelelahan.
      2. Status Gizi yang berhubungan dengan keadaan tubuh.Postur tubuh biasanya kurus ,rambut merah karena kekurangan vitamin A, berat badan kurang dari normal.
        1. Menurut rumus dari BEHARMAN tahun 1992, umur 1 sampai 6 tahun. Umur (dalam tahun) x 2 + 8
        2. Tinggi badan menurut BEHARMAN umur 4 sampai 2 x tinggi badan lahir.
      3. Perkembangan badan biasanya kurang karena asupan makanan yang bergizi kurang.
      4. Pengetahuan tentang nutrisi biasanya pada orang tua anak yang kurang pengetahuan tentang nutrisi.
        1. Yang dikatakan gizi kurang bila berat badan kurang dari 70% berat badan normal.
  9. Pola Eliminasi
    1. Kebiasaan Defekasi sehari-hari. Biasanya pada pasien Ensefalitis karena pasien tidak dapat melakukan mobilisasi maka dapat terjadi obstipasi.
    2. Kebiasaan Miksi sehari-hari. Biasanya pada pasien Ensefalitis kebiasaan mictie normal frekuensi normal.
    3. Jika kebutuhan cairan terpenuhi. Jika terjadi gangguan kebutuhan cairan maka produksi irine akan menurun, konsentrasi urine pekat.
  10. Pola tidur dan istirahat
    1. Biasanya pola tidur dan istirahat pada pasien Ensefalitis biasanya tidak dapat dievaluasi karena pasien sering mengalami apatis sampai koma.
  11. Pola Aktivitas
    1. Aktivitas sehari-hari : klien biasanya terjadi gangguan karena bx Ensefalitis dengan gizi buruk mengalami kelemahan.
    2. Kebutuhan gerak dan latihan : bila terjadi kelemahan maka latihan gerak dilakukan latihan positif.
    3. Upaya pergerakan sendi : bila terjadi atropi otot pada px gizi buruk maka dilakukan latihan pasif sesuai ROM
    4. Kekuatan otot berkurang karena px Ensefalitisdengan gizi buruk .
    5. Kesulitan yang dihadapi bila terjadi komplikasi ke jantung ,ginjal ,mudah terkena infeksi berat, aktifitas togosit turun, Hb turun, punurunan kadar albumin serum, gangguan pertumbuhan.
  12. Pola Hubungan Dengan Peran
    1. Interaksi dengan keluarga / orang lain biasanya pada klien dengan Ensefalitis kurang karena kesadaran klien menurun mulai dari apatis sampai koma.
  13. Pola Persepsi dan pola diri
    1. Pada klien Ensenfalitis umur > 4 ,pada persepsi dan konsep diri yang meliputi Body Image ,self Esteem ,identitas deffusion deper somalisasi belum bisa menunjukkan perubahan.
  14. Pola sensori dan kuanitif
    1. Sensori
      1. Daya penciuman
      2. Daya rasa
      3. Daya raba
      4. Daya penglihatan
      5. Daya pendengaran.
    2. Kognitif :
  15. Pola Reproduksi Seksual
    1. Bila anak laki-laki apakah testis sudah turun ,fimosis tidak ada.
  16. Pola penanggulangan Stress
    1. Pada pasien Ensefalitis karena terjadi gangguan kesadaran :
      1. Stress fisiologi: biasanya anak hanya dapat mengeluarkan air mata saja ,tidak bisa menangis dengan keras (rewel) karena terjadi afasia.
      2. Stress Psikologi tidak di evaluasi.
  17. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
    1. Anak umur 3-4 tahun belum bisa dikaji

PEMERIKSAAN LABORATORIUM / PEMERIKSAAN PENUNJANG ENCHEPHALITIS

Gambaran cairan cerebro-spinal dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu membantu. Biasanya berwarna jernih ,jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfasit. Kadar protein kadang-kadang meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal.

Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktifitas lambat bilateral). Bila terdapat tanda klinis flokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau CT scan dapat dilakukan biopal otak di daerah yang bersangkutan. Bila tidak ada tanda klinis flokal, biopsi dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi predileksi virus Herpes Simplex.

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING TERJADI PADA ENCHEPHALITIS

  1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan daya tahan terhadap infeksi turun.
    1. Tujuan:tidak terjadi infeksi
    2. Kriteria hasil:
      1. Masa penyembuhan tepat waktu tanpa bukti penyebaran infeksi endogen
    3. Intervensi:
      1. Pertahanan teknik aseptic dan teknik cuci tangan yang tepat baik petugas atau pengunmjung. Pantau dan batasi pengunjung.
        1. Rasional: menurunkan resiko px terkena infeksi sekunder . mengontrol penyebaran Sumber infeksi, mencegah pemajaran pada individu yang mengalami nfeksi saluran nafas atas.
      2. Observasi suhu secara teratur dan tanda-tanda klinis dari infeksi.
        1. Rasional: Deteksi dini tanda-tanda infeksi merupakan indikasi perkembangan Meningkosamia.
      3. Berikan antibiotika sesuai indikasi
        1. Rasional: Obat yang dipilih tergantung tipe infeksi dan sensitivitas individu.
  2. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan aktivitas kejang umum.
    1. Tujuan: Tidak terjadi trauma
    2. Kriteria hasil:
      1. Tidak mengalami kejang / penyerta cedera lain
    3. Intervensi:
      1. Berikan pengamanan pada pasien dengan memberi bantalan,penghalang tempat tidur tetapn terpasang dan berikan pengganjal pada mulut, jalan nafas tetap bebas.
        1. Rasional: Melindungi px jika terjadi kejang, pengganjal mulut agar lidah tidak tergigit. Catatan: memasukkan pengganjal mulut hanya saat mulut relaksasi.
      2. Pertahankan tirah baring dalam fase akut.
        1. Rasional: Menurunkan resiko terjatuh / trauma saat terjadi vertigo.
      3. Kolaborasi: Berikan obat sesuai indikasi seperti delantin, valum dsb
        1. Rasional: Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang.
      4. Observasi tanda-tanda vital
        1. Rasional: Deteksi diri terjadi kejang agak dapat dilakukan tindakan lanjutan.
  3. Resiko terjadi kontraktur berhubungan dengan spastik berulang.
    1. Tujuan : Tidak terjadi kontraktur
    2. Kriteria hasil:
      1. Tidak terjadi kekakuan sendi, Dapat menggerakkan anggota tubuh
    3. Intervensi:
      1. Berikan penjelasan pada ibu klien tentang penyebab terjadinya spastik (terjadi kekacauan sendi)
        1. Rasional: Dengan diberi penjelasan, diharapkan keluarga mengerti dan mau membantu program perawatan.
      2. Lakukan latihan pasif mulai ujung ruas jari secara bertahap.
        1. Rasional: Melatih melemaskan otot-otot, mencegah kontraktor.
      3. Lakukan perubahan posisi setiap 2 jam
        1. Rasional: Dengan melakukan perubahan posisi diharapkan perfusi ke jaringan lancar, meningkatkan daya pertahanan tubuh.
      4. Observasi gejala kaerdinal setiap 3 jam
        1. Rasional: Dengan melakukan observasi, dapat melakukan deteksi dini bila ada kelainan dan dapat dilakukan intevensi segera
      5. Kolaborasi untuk pemberian pengobatan spastik dilantin / valium sesuai Indikasi.
        1. Rasional: Diberi dilantin / valium,bila terjadi kejang / spastik ulang
  4. Nyeri berhubungan dengan adanya proses infeksi yang ditandai dengan anak menangis, gelisah.
  5. Gangguan mobilitas berhubungan dengan penurunan kekuatan otot yang ditandai dengan ROM terbatas.
  6. Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah.
  7. Gangguan sensorik motorik (penglihatan, pendengaran, gaya bicara) berhubungan dengan kerusakan susunan saraf pusat.
  8. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan sakit kepala mual.
  9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan daya pertahanan tubuh terhadap infeksi turun.
  10. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan Hepovolemia, anemia.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya, 1998
  2. Ngastiyah, Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.
  3. Rahman M, Petunjuk Tentang Penyakit, Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium, Kelompok Minat Penulisan Ilmiah Kedokteran Salemba, Jakarta, 1986.
  4. Sacharian, Rosa M, Prinsip Keperawatan Pediatrik, Edisi 2 Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta ,1993.
  5. Sutjinigsih (1995), Tumbuh kembang Anak, Penerbit EGC, Jakart

Askep Acut Lymphosityc Leukemia

PENGERTIAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Acut limphosityc leukemia adalah proliferasi maligna / ganas limphoblast dalam sumsum tulang yang disebabkan oleh sel inti tunggal yang dapat bersifat sistemik. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Tucker, 1997; Reeves & Lockart, 2002).

PENYEBAB ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu:

  1. Faktor eksogen
    1. Sinar x, sinar radioaktif.
    2. Hormon.
    3. Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent).
  2. Faktor endogen
    1. Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam)
    2. Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down).
    3. Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur). (Ngastiyah, 1997)

PATOFISIOLOGI ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian.

Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).

TANDA DAN GEJALA

Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain:

  1. Pilek tak sembuh-sembuh
  2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi
  3. Demam, anoreksia, mual, muntah
  4. Berat badan menurun
  5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab
  6. Nyeri tulang dan persendian
  7. Nyeri abdomen
  8. Hepatosplenomegali, limfadenopati
  9. Abnormalitas WBC
  10. Nyeri kepala

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah:

  1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction):
    1. Ditemukan sel blast yang berlebihan
    2. Peningkatan protein
  2. Pemeriksaan darah tepi
    1. Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia)
    2. Peningkatan asam urat serum
    3. Peningkatan tembaga (Cu) serum
    4. Penurunan kadar Zink (Zn)
    5. Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / µl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif
  3. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut
  4. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum
  5. Sitogenik:50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa:
    1. Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a)
    2. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection)
    3. Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil

PENGOBATAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

  1. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberi¬kan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda tanda DIC dapat dibe¬rikan heparin.
  2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhir¬nya dihentikan.
  3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6 merkaptopurin atau 6 mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriami¬sin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama sama dengan prednison. Pada pemberian obat obatan ini sering terdapat akibat samping beru¬pa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3.
  4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama).
  5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah ter¬capai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyunti¬kan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna.
  6. Cara pengobatan.Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalaman¬nya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:
    1. Induksi Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berba¬gai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sam¬pai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%.
    2. Konsolidasi Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
    3. Rumat (maintenance) Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat dapatnya suatu masa remisi yang lama.Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa.
    4. Reinduksi Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3 6 bulan dengan pemberian obat obat seperti pada induksi se-lama 10 14 hari.
    5. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat. Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.400¬2.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia sereb¬ral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi.
    6. Pengobatan imunologik Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna. (FKUI, 1985)

PATHWAYS ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Download Pathways Acut Limphositic Leukemia Via Ziddu

MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

Adanya keganasan menimbulkan masalah keperawatan, antara lain:

  1. Intoleransi aktivitas
  2. Resiko tinggi infeksi
  3. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuahn
  4. Resiko cedera (perdarahan)
  5. Resiko kerusakan integritas kulit
  6. Nyeri
  7. Resiko kekurangan volume cairan
  8. Berduka
  9. Kurang pengetahuan
  10. Perubahan proses keluarga
  11. Gangguan citra diri / gambaran diri

PERAWATAN PADA ANAK DENGAN ACUT LIMPHOSITYC LEUCEMIA

  1. Mengatasi keletihan / intoleransi aktivitas:
    1. Kaji adanya tanda-tanda anemia: pucat, peka rangsang, cepat lelah, kadar Hb rendah.
    2. Pantau hitung darah lengkap dan hitung jenis
    3. Berikan cukup istirahat dan tidur tanpa gangguan
    4. Minimalkan kegelisahan dan anjurkan bermain yang tenang
    5. Bantu pasien dalam aktivitas sehari-hari
    6. Pantau frekuensi nadi, prnafasan, sebelum dan selama aktivitas
    7. Ketika kondisi membaik, dorong aktivitas sesuai toleransi
    8. Jika diprogramkan, berikan packed RBC
  2. Mencegah terjadinya infeksi
    1. Observasi adanya tanda-tanda infeksi, pantau suhu badan laporkan jika suhu > 38oC yang berlangsung > 24 jam, menggigil dan nadi > 100 x / menit.
    2. Sadari bahwa ketika hitung neutrofil menurun (neutropenia), resiko infeksi meningkat, maka:
      1. Tampatkan pasien dalam ruangan khusus
      2. Sebelum merawat pasien: cuci tangan dan memakai pakaian pelindung, masker dan sarung tangan.
      3. Cegah komtak dengan individu yang terinfeksi
    3. Jaga lingkungan tetap bersih, batasi tindakan invasif
    4. Bantu ambulasi jika mungkin (membalik, batuk, nafas dalam)
    5. Lakukan higiene oral dan perawatan perineal secara sering.
    6. Pantau masukan dan haluaran serta pertahankan hidarasi yang adekuat dengan minum 3 liter / hari
    7. Berikan terapi antibiotik dan tranfusi granulosit jika diprogramkan
    8. Yakinkan pemberian makanan yang bergizi
  3. Mencegah cidera (perdarahan)
    1. Observasi adanya tanda-tanda perdarahan dengan inspeksi kulit, mulut, hidung, urine, feses, muntahan, dan lokasi infus.
    2. Pantau tanda vital dan nilai trombosit
    3. Hindari injesi intravena dan intramuskuler seminimal mungkin dan tekan 5-10 menit setiap kali menyuntik
    4. Gunakan sikat gigi yang lebut dan lunak
    5. Hindari pengambilan temperatur rektal, pengobatan rekatl dan enema
    6. Hindari aktivitas yang dapat menyebabkan cidera fisik atau mainan yang dapat melukai kulit.
  4. Memberikan nutrisi yang adekuat
    1. Kaji jumlah makanan dan cairan yang ditoleransi pasien
    2. Berikan kebersihan oral sebelum dan sesudah makan
    3. Hindari bau, parfum, tindakan yang tidak menyenangkan, gangguan pandangan dan bunyi
    4. Ubah pola makan, berikan makanan ringan dan sering, libatkan pasien dalam memilih makanan yang bergizi tinggi, timbang BB tiap hari
    5. Sajikan makanan dalam suhu dingin / hangat f. Pantau masukan makanan, bila jumlah kurang berikan ciran parenteral dan NPT yang diprogramkan.
  5. Mencegah kekurangan cairan
    1. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
    2. Berikan antiemetik awal sebelum pemberian kemoterapi
    3. Hindari pemberian makanan dan minuman yang baunya merangngsang mual / muntah
    4. Anjurkan minum dalam porsi kecil dan sering
    5. Kolaborasi pemberian cairan parenteral untuk mempertahankan hidrasi sesuai indikasi
  6. Antisipasi berduka
    1. Kaji tahapan berduka oada anak dan keluarga
    2. Berikan dukungan pada respon adaptif dan rubah respon maladaptif
    3. Luangkan waktu bersama anak untuk memberi kesempatan express feeling
    4. Fasilitasi express feeling melalui permainan
  7. Memberikan pendidikan kesehatan pada pasien dan keluarga tentang:
    1. Proses penyakit leukemia: gejala, pentingnya pengobatan / perawatan.
    2. Komplikasi penyakit leukemia: perdarahan, infeksi dll.
    3. Aktivitas dan latihan sesuai toleransi
    4. Mengatasi kecemasan
    5. Pemberian nutrisi
    6. Pengobatan dan efek samping pengobatan
  8. Meningkatkan peran keluarga
    1. Jelaskan alasan dilakukannya setiap prosedur pengobatan / dianostik
    2. Jadwalkan waktu bagi keluarga bersama anak tanpa diganggu oleh staf SR
    3. Dorong keluarga untuk express feelings
    4. Libatkan keluarga dalam perencanaan dan pelaksanaan perawatan si anak
  9. Mencegah gangguan citra diri / gambaran diri
    1. Dorong pasien untuk express feelings tentang dirinya
    2. Berikan informasi yang mendukung pasien ( misal; rambut akan tumbuh kembali, berat badan akan kembali naik jika terapi selesai dll.)
    3. Dukung interaksi sosial / peer group
    4. Sarankan pemakaian wig, topi / penutup kepala.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi 2. Jakarta, EGC.
  2. Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi I. Jakarta, CV Sagung Seto.
  3. Reeeves, Lockart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Cetakan I. Jakarta, Salemba Raya.
  4. FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Volume 1. Jakarta, FKUI.
  5. Sacharin Rosa M. (1993). Prinsip Perawatan Pediatri. Edisi 2. Jakarta : EGC.
  6. Gale Danielle, Charette Jane. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, Jakarta : EGC.
  7. Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart .(1995). Patofisiologi. Jakarta : EGC
  8. Sutarni Nani.(2003). Prosedur Dan Cara Pemberian Obat Kemoterapi. Disampaikan Pada Pelatihan Kemoterapi Di RS Kariadi Semarang, Tanggal 13-15 November 2003.

Saturday, November 21, 2009

Makalah Caries Dentis

PENGERTIAN CARIES DENTIS

Karies adalah suatu penyakit jaringan keras gigi (email, dentin dzn sementum) yang bersifat kronik progresif dan disebabkan aktifitas jasad renik dalam karbohidrat yang dapat diragikan. Ditandai dengan demineralisasi jaringan keras dan diikuti kerusakan zat organiknya.

ETIOLOGI CARIES DENTIS

Faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya karies yaitu:

Bakteri

Sifat kariogenik ini berkaitan dengan kemampuan untuk:

  1. Membentuk asam dari substrat (asidogenik)
  2. Menghasilkan kondisi dengan pH rendah

FAKTOR PRESDIPOSISI CARIES DENTIS

Mallenby menyatakan bahwa hipoplasia enamel merupakan faktor presdisposisi perkembangan karies gigi dan akan memperberat gigi yang mengalami karies.

Konsumsi makanan bergizi dan kebiasaan makan juga mempunyai peran besar karena sering ditemukan insidens karies yang berbeda pada populasi dengan konsumsi makanan yang berbeda. Kandungan bahan makanan merupakan faktor yang bertanggung jawab atas perbedaan pembentukan karies antara manusia primitif dan manusia modern. Makanan manusia primitif umumnya berserat tinggi, dapat membersihkan gigi selagi dikunyah, sedangkan manusia sekarang banyak mengkonsumsi makanan berserat rendah.

Kandungan vitamin juga dilaporkan berperan pada proses karies. Defisiensi vitamin A menyebabkan gangguan pembentukan gigi pada binatang dan mungkin juga manusia, walaupun data-data yang mendukung hal ini masih kurang. Mungkin vitamin D paling berperan dalam pembentukan gigi. Kelainan gigi seperti malformasi, dan hipoplasi enamel disebabkan defisiensi vitamin D. Kandungan mineral, seperti Ca danP, berperan dalam pembentukan karies gigi walaupun masih banyak pendapat yang menentang.

PATOFISIOLOGI CARIES DENTIS

Terdapat tiga teori mengenai terjadinya karies, yaitu teori asidogenik (teori kemoparasiter Miller), teori proteolitik, dan teori proteolisis kelasi.

  1. Teori Asidogenik Miller (1882) menyatakan bahwa kerusakan gigi adalah adalah proses kemoparasiter yang terdiri atas dua tahap, yaitu dekalsifikasi email sehingga terjadi kerusakan total email dan dekalsifikasi dentin pada tahap awal diikuti oleh pelarutan residunya yang telah melunak. Asam yang dihasilkan oleh bakteri asidogenik dalam proses fermentasi karbohidrat dapat mendekalsifikasi dentin, menurut teori ini, karbohidrat, mikroorganisme, asam, dan plak gigi berperan dalam proses pembentukan karies.
  2. Teori Proteolitik Gottlieb (1944) mempostulasikan bahwa karies merupakan suatu prose proteolisis bahan-bahan organik dalam jaringan keras gigi oleh produk bakteri. Dalam teori ini dikatakan mikroorganisme menginvasi jalan organik seperti lamela email dan sarung batang email (enamel rod sheath), serta merusak bagian-bagian organik ini. Proteolisis juga disertai pembentukan asam. Pigmentasi kuning merupakan ciri karies yang disebabkan produksi pigmen oleh bakteri proteolitik. Teori proteolitik ini menjelaskan terjadinya karies dentin dengan email yang masih baik. Manley dan Hardwick (1951) menggabungkan teori proteolitik dan teori asidogenik .
    Menurut mereka teori-teori tersebut dapat berjalan sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Teori ini menyatakan bahwa bakteri-bakteri dapat membentuk asam dari substrat karbohidrat, dan bakteri tertentu dapat merusak protein jika tidak ada karbohidrat, karena itu terdapat dua tipe lesi karies. Pada tipe I, bakteri menginvasi lamela email, menyerang email dan dentin sebelum tampak adanya gejala klinis karies. Tipe II, tidak ada lamela email, hanya terdapat perubahan pada email sebelum terjadi invasi mikroorganisme. Perubahan email ini terjadi akibat dekalsifikasi email oleh asam yang dibentuk oleh bakteri dalam plak gigi diatas email. Lesi awal ini disebut juga calky aanamel.
  3. Teori Proteolisis Kelasi Teori ini diformulasikan oleh Schatz (1955). Kelasi adalah suatu pembentukan kompleks logam melalui ikatan kovalen koordinat yang menghasilkan suatu kelat. Teori ini menyatakan bahwa serangan bakteri pada email dimulai oleh mikroorganisme yang keratinolitik dan terdiri atas perusakan protein serta komponen organik email lainnya, terutama keratin. Ini menyebabkan pembentukan zat-zat yang dapat membentuk kelat dan larut dengan komponen mineral gigi sehingga terjadi dekalsifikasi email pada pH netral atau basa.

MANIFESTASI KLINIS CARIES DENTIS

Gambaran klinis karies email yaitu:

  1. Lesi dini atau lesi bercak putih/coklat (karies insipien)
  2. Lesi lanjut (lesi yang telah mengalami kavitasi)

Gejala paling dini karies email secara makroskopik adalah suatu ‘bercak putih’. Bercak ini jelas terlihat pada gigi cabutan yang kering yang tampak sebagai suatu lesi kecil., opak dan merupakan daerah berwarna putih, terletak sedikit kearah serviks dan titik kontak. Warna tampak berbeda dibandingkan email di sekitarnya yang masih sehat.

Pada tahap ini, deteksi dengan sonde tidak dapat dilakukan karena email yang mengelilinginya masih keras dan mengkilap. Kadang-kadang lesi tampak coklat karena materi yang terserap kedalam pori-porinya. Baik bercak putih maupun coklat bisa bertahan bertahun-tahun lamanya karena perkembangan lesi tersebut dapat dicegah. Jika lesi email sempat berkembang, permukaan yang semula utuh akan pecah (kavitasi) dan akan terbentuk lubang (kavitas).

Pada saat pemeriksaan diperlukan pencahayaan yang baik. Gigi harus bersih dan kering, sehingga kotoran dan karang gigi harus dibersihkan dahulu. Gigi yang sudah kering harus diisolasi dengan gulungan kapas sehingga tidak basah oleh saliva. Gigi harus betul-betul kering dan pengeringan biasanya dengan penyemprotan secara perlahan-lahan.

Untuk menemukan tanda awal karies diperlukan penglihatan yang tajam. Biasanya pemeriksaan dilakukan dengan sonde tajam sampai terasa menyangkut. Sebaiknya hal ini jangan dilakukan karena sonde tajam akan merusak lesi karies yang masih baru dan bakteri akan terbawa dalam lesi sehingga kariesnya menyebar

PEMERIKSAAN PENUNJANG CARIES DENTIS

Radiograf bite wing diperlukan dalam menegakkan diagnosis. Pada tehnik ini sinar diarahkan tegak lurus terhadap sumbu gigi dan menyinggung titik kontak. Film diletakkan di sebelah lingual gigi posterior. Pasien menahan posisi tersebut dengan menggigit pegangan filmnya. Tiap daerah yang mungkin diserang karies harus dinilai secara tersendiri.

DIAGNOSIS CARIES DENTIS

Berdasarkan pola klinisnya, Nikiforuk membagi karies menjadi 3 golongan yaitu menurut morfologi, dinamika, dan keparahan. Yang termasuk golongan morfologis adalah karies pit dan fisur, karies permukaan halus, karies akar atau karies sementum, dan karies email linear. Karies pit dan fisur tipe primer terbentuk di permukaan oklusal molar dan premolar, permukaan bukal dan lingual molar dan permukaan lingual insisivus maksila.

Pit dan fisur yang berdinding tinggi dan terjal, serta berdasar sempit paling rentan terhadap karies, Pit dan fisur kadang dianggap kelainan perkembangan, terutama karena email pada tempat yang dalam sering sangat tipis, bahkan terkadang tidak ada, sehingga dentin terpapar, Pit dan fisur pada proses awal karies tampak coklat atau hitam, terasa agak lembut.

Email yang berbatasan denagan pit dan fisur tersebut, mungkin terlihat opak putih kebiruan karena proses dibawahnya. Proses ini terjadi melalui penyebaran lateral karies pada batas dentin dan email, sehingga dapat terbentuk lubang yang besar dibawah email.

Karies permukaan halus timbul pada permukaan proksimal gigi dan sepertiga gingival permukaan bukal dan lingual. Karies ini jarang timbul pada bagian lain, kecuali pada gigi yang malformasi atau malposisi. Karies ini biasanya diawali dengan pembentukan plak. Karies proksimal biasanya timbul tepat dibawah titik kontak dan awalnya tampak opaksitas putih samar pada email tanpa diskontinuitas permukaan email.

Pada beberapa kasus dapat tampak sebagai daerah berpigmentasi kuning atau coklat dan berbatas tegas. Tempat putih kapur ini kemudian menjadi agak kasar karena dekalsifikasi superfisial. Dengan penetrasi karies ke email, email disekitar lesi menjadi putih kebiruan. Karies yang cepat menyebar umumnya mempunyai tempat penetrasi kecil, sedang yang lambat biasanya membentuk lubang terbuka yang dangkal.

Karies servikal terdapat pada permukaan bukal, lingual, atau labial. Lesi karies servikal adalah kavitas berbentuk bulan sabit, bermula sebagai daerah putih agak kasar kemudian berlubang. Karies ini hampir selalu berupa lubang terbuka dan tidak menunjukkan titik penetrasi sempit seperti pada karies pit dan fisur. Karies ini tidak mempunyai predileksi pada gigi tertentu. Hal penting pada proses perkembangan karies di email adalah perembesan asam kedalam substansinya.

Secara klinis tahapan tersebut dibagi menjadi beberapa fase, yaitu lesi dini, remineralisasi, dan kavitasi. Lesi karies email berbentuk kerucut dengan puncak dipermukaan luar pada daerah pit dan fisur, sedangkan pada karies permukaan halus, puncak kerucut mengarah kebatas dentin-email (dentino-enamel junction). Menurut Feyersjkov, bentuk ini mengikuti arah prisma email.

Penelitian histologi menunjukkan bahwa karies tidak hanya proses demineralisasi yang progresif, tetapi juga suatu proses perusakan dan perbaikan yang silih berganti. Dengan menggunakan mikroskop cahaya, radiografi mokro, dan mikroskop elektron transmisi, remineralisasi dapat didefinisikan sebagai suatu penempatan mineral anorganik di daerah yang sebelumya telah kehilangan mineral tersebut.

Karies gigi diwarnai oleh periode perusakan dan perbaikan. Untungnya gigi terbenam dalam saliva, yaitu cairan yang berpotensi menimbulkan remineralisasi. Namun jika terjadi kavitasi, remineralisasi tak dapat menambal lubangnya. Jika lesi berkembang terus, zona permukaan akhirnya akan pecah dan membentuk kavitas, sehingga sekarang plak akan terbentuk dalam kavitas dan terlindung dari usaha pembersihan seperti menyikat gigi.

Karena itu suatu lesi yang telah mengalami kavitasi berkembang lebih cepat, dapat terhenti walaupun masih menetap, dan mengalami remineralisasi sebagian. Hal ini terutama bila terjadi perubahan diet, mokroorganisme yang kariogenik mengalami kekurangan substrat yang dibutuhkan, atau lesi berada pada permukaan yang mudah dibersihkan.

Seperti halnya karies yang terjadi di email, perubahan awal bukan disebabkan oleh bakteri, tetapi akibat difusi asam kedalam jaringan. Sekali email telah berhasil dipenetrasi oleh bakteri, maka dentin akan terbuka bagi serangan bakteri secara langsung. Manifestasi paling awal karies email insipien adalah timbulnya area dekalsifikasi dibawah plak gigi yang mirip dengan permukaan kapur yang licin.

Karies rampan adalah kerusakan beberapa gigi secara cepat dan sering melibatkan permukaan gigi yang biasanya bebas karies, terutama dijumpai pada gigi susu bayi yang selalu menghisap ‘dot’ bergula, juga dapat dijumpai pada remaja yang sering makan kudapan kariogenik dan minuman manis, serta pada penderita xerostomia.

Karies terhenti adalah suatu lesi yang tidak berkembang. Dijumpai jika lingkungan oral berubah dari yang memungkinkan timbul karies menjadi keadaan yang cenderung menghentikan karies.

Berdasarkan keparahan atau kecepatan berkembangnya, karies dikatakan ringan bila terkena pada daerah yang sangat rentan, misalnya permukaan oklusal gigi molar permanen, dikatakan moderat bila terkena pada permukaan oklusal dan proksimal gigi posterior, dan dikatakan parah jika menyerang gigi anterir, daerah yang biasanya bebas karies.

Karies bisa juga digolongkan berdasarkan kronologi, yaitu karies susu botol dan karies adolesens. Juga terdapat klasifikasi secara klinis yang membagi karies menjadi karies akut dan kronis.

PENATALAKSANAAN CARIES DENTIS

Setelah diagnosis karies ditegakkan, maka ada dua cara pendekatan yang mungkin ditempuh yaitu:

  1. Menggunakan usaha preventif untuk mencoba menghentikan penyakit
  2. Membuang jaringan yang rusak dan menggantikannya dengan restorasi disertai usaha pencegahan terhadap rekurensinya.

Kedua pendekatan diatas dipertimbangkan berdasarkan informasi diagnostik yang diperoleh. Usaha-usaha pencegahan yang dilakukan berkaitan dengan peran karbohidrat diantaranya adalah:

  1. Menurunkan konsumsi sukrosa
  2. Mengubah bentuk fisik makanan yang dikonsumsi, misalnya dengan menghindari makanan yang lengket Tidak lupa pula dengan cara pencegahan lain yang bersifat umum seperti
  3. Kebiasaan menggosok gigi secara tepat dan benar tentang tata cara dan secara konsisten atau teratur
  4. Selalu memeriksakan kesehatan gigi setidak-tidaknya tiap 6 bulan sekali

DAFTAR PUSTAKA

  1. Mansjoer Arif, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika, Setiowulan Wiwik, “Kapita Selekta Kedokteran” Edisi ke-3 jilid 1, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakrta, 1999.

Manifestasi Klinis Leptospirosis

MANIFESTASI KLINIS LEPTOSPIROSIS

Posting ini kelanjutan dari posting tentang PATOFISIOLOGI LEPTOSPIROSIS

Manifestasi klinis leptospirosis bervariasi, dari sakit dengan gejala demam ringan hingga bentuk iktero-hemoragik dengan penyulit pada otak, ginjal dan liver.

Penyakit Weil’s merupakan manifestasi penyakit terberat leptospirosis. Masa inkubasi 2-12 hari, rata-rata 7 hari. Onset penyakit mendadak, disertai demam menggigil, sepertiga diantaranya mengalami gejala prodormal kelemahan umum, dan sakit kepala.

Trias gejala klinis penyakit ini adalah demam, ikterik dan perdarahan-perdarahan.

Manifestasi klinis dibagi dalam tiga stadium.

  1. Stadium pertama berlangsung pada minggu pertama disebut stadium demam.
  2. Stadium kedua disebut stadium Ikterik.
  3. Stadium ketiga terjadi pada minngu ketiga disebut satadium konvalesen.

Demam, semua menunjukkan gejala demam dengan temperatur 39,0C pada dua hari pertama dengan lama demam 8 hari. Ikterik, muncul terutama pada minggu ke-2, merupakan gejala penting pada penyakit ini. Ikterik muncul atau berlangsung hari ke-1 hingga ke-13 dengan puncak pada hari ke-4 hingga ke-6. Ikterus berlangsung antara 3 hingga 6 minggu (minimal 4 hari, maksimal 70 hari).

Perdarahan, dialami oleh 70% pasien dengan penyakit ini. Perdarahan subkutan seperti petekie, purpura; perdarahan pada gusi, dan palatum, epistidaksis hingga perdarahan saluran cerna; perdarahan konjungtiva, sputum berdarah, batuk darah, perdarahan saluran genital, hematuria.

Selain demam, ikterik, perdarahan leptospirosis juga disertai gejala neurologis, saluran cerna, sendi dan otot. Gejala neurologis seperti sakit kepala, sulit tidur, gangguan kesadaran, delirium, kekakuan leher memnunjukkan infeksi berlangsung serius. Gejala pada saluran cerna, anoreksia, konstipasi, mual, muntah, nyeri abdomen, meteorismus, ceguken. Masa inkubasi leptospirosis adalah 2-20 hari, dari jumlah individu yang terpapar Leptospira, 90% akan berkembang menjadi leptospirosis anikterik, dan 10% menjadi leptospirosis ikterik.

Manifestasi klinis sangat bervariasi dan menyerupai penyakit infeksi lain, paling jelas serta klasik bila muncul penyakit Wel’s. Ada dua bentuk manifestasi klinis penyakit ini, yang ringan (anikterik) dan manifestasi yang berat (ikterik atau penyakit Weil’s).

Manifestasi klinis leptospirosis berlangsung bifasik yaitu fase septik (fase akut atau fase leptospiremia) dan fase imun. Fase septik, berakhir pada penghujung minggu pertama dengan manifestasi awal sindrom semacam flu, pada fase ini dapat ditemukan Leptospira di dalam darah. Kemudian diikuti fase imun yang berlangsung hari ke 4-30 dengan ditandai produksi antibodi dan sekresi Leptospira dalam urine, serta munculnya manifestasi meningitis aseptik, uveitis, iritis, rash kulit dan gangguan liver serta ginjal. Selama fase ini Leptospira dapat ditemukan dalam urine dan cairan serebrospinal.

Komplikasi leptospirosis sangat dipengaruhi kondisi Leptospira dalam jaringan selama fase imun dan sering terjadi padaminggu ke-2 berlangsungnya infeksi.

TEMUAN LABORATORIUM

Berbagai derajat anemia terjadi terutama pada 7 hari pertama, anemia semakin nyata setelah 3-4 minggu sakit. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin terdapat peningkatan laju endap darah pada awal infeksi dan tetap tinggi selama sakit maupun fase penyembuhan.

Leukositosis dengan netrofilia 9.000-15.000 per mm3 sering terlihat pada minggu pertama sakit.

Trombosit biasanya normal pada sakit ringan hingga sedang, tetapi trombositopeni juga jarang terjadi pada infeksi berat.

Pada urine terdapat proteiuria, piuria dan hematuria mikroskopis, serta toraks hialin maupun granuler.

Proteinuria terutama pada minggu pertama dan menghilang pada minggu ke-2 sakit. Secara mikroskopis Leptospira dapat ditunjukkan melalui: mikroskop lapangan gelap, immunoflouresence, maupun pemeriksaan mikroskopis setelah pengecatan. Mikroskop lapangan gelap dapat mendeteksi leptospirosis bila jumlahnya mencapai 104 Leptospira/ml. Deteksi antigen: metode RIA (radioimmunoassay) dapat mendeteksi Leptospira 104-105 Leptospira/ml, sedangkan metode ELISA dapat mendeteksi Leptospira 105 Leptospira/ml.

Biakan, minggu pertama bahan diambil dari darah maupun cairan serebrospinal sedangkan pada minggu kedua dan seterusnya bahan diambil dari urine. Serologis, IgM antibodi dalam darah mulai dapat ditentukan pada 5-7 hari setelah munculnya gejala. Dengan pemeriksaan serologis ini dapat ditentukan genus dan serogrupnya melalui tes aglutinasi yaitu MAT (microscopic agglutination test) atau dengan tes fiksasi komplemen.

Pemeriksaan biomolekuler bisa dilakukan dengan PCR (polymerase chain reaction). Leptospirosis berat ditandai dengan gangguan faal hati dan ginjal. Pemeriksaan faal hati menunjukkan serum GOT (aspartate aminotransferase; AST), dan GPT (alanine aminotransferase; ALT) dan dehidrogenase laktat (LDH) yang meningkat. Temuan ini penting untuk membedakan leptospirosis dengan hepatitis virus. Perubahan histologis pada liver sering terjadi pada leptospirosis terutama penyakit Weil’s disertai obstruksi intrahepatik. Tes fungsi ginjal sering ditandai peningkatan BUN sering hingga 100-200 mg/dl, apabila kadarnya lebih 200mg/dl menandakan penyakit yang berat.

DIAGNOSIS

Diagnosis perlu segera ditegakkan dengan berlandaskan pada gambaran klinis, temuan laboratoris, dan epidemiologis. Kecurigaan terhadap leptospirosis bila terdapat gejala klinis yang karakteristik seperti demam mendadak yang disertai kelemahan umum, nyeri otot, kongesti konjungtiva serta pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis dengan neutrofilia, peningkatan LED, proteinuria untuk membedakan dengan hepatitis virus.

Pada penyakit Weil’s ditandai demam, ikterus dan perdarahan. Diagnosis definitif dibuat berdasarkan isolasi organisme dari berbagai spesimen, atau serokonversi atau peningkatan titer antibodi 4 kali lipat.

Leptospira dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal selama 10 hari pertama. Medium Korthof dan Tween 80-albumin merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan Leptospira. Organisme ini juga dapat dideteksi melalui mikroskop lapangan gelap, PCR, pengecatan silver pada berbagai cairan tubuh atau pengecatan antibodi fluorescen dari jaringan.

Antibodi spesifik Leptospira dapat dideteksi dengan aglutinasi makroskopis pada antigen yang dimatikan, atau aglutinasi mikroskopis dari antigen hidup (lebih spesifik) dan ELISA. Aglutinin mulai nampak setelah 6-12 hari, titernya mencapai puncak dicapai pada minggu 3-4. Reaksi silang sering terjadi dengan penyakit yang disebabkan Spirochaeta yang lain.

TERAPI

Pengobatan harus segera dilakukan seawal mungkin terutama dalam 2-3 hari pertama Imunoterapi menggunakan imunoglobulin spesifik serum kuda yang diberikan 5 hari pertama terbukti efektif untuk mencegah progresifitas penyakit serta memperbaiki prognosis.

Antibiotika peranannya sangat penting dalam penanggulangan leptospirosis Berbagai antibiotika bermanfaat karena cukup sensitif terhadap Leptospira seperti streptomisin, penisilin, tetrasiklin, eritromisin, siprofloksasin, sefalosporin. Untuk penisilin dan chepems memounyai minimal inhibitory concetrations (MIC) terendah terhadap Leptospira pada fase pertumbuhan logaritmik, kurang efektif pada fase-fase stasioner.

Streptomisin meskipun dapat bekerja pada fase pertumbuhan tetapi lebih efektif pada fase stasioner. Pada infeksi 4-5 hari pertama Streptomisin sangat efektif mengeliminasi Leptospira. Streptomisin 1-2 gram dua kali sehari intramuskuler diberikan selama 2-4 hari sangat efektif pada sindrom Wel’s. Antibiotoka yang dapat bekerja pada fase pertumbuhan logaritmik maupun stasioner adalah gentamisin, tobramisin, isepamisin.

MORTALITAS

Mortalitas leptospirosis berat mencapai 15-40%.

PENCEGAHAN

Kontrol infeksi leptospiral harus dilandasi upaya pencegahan dan menurunkan karier Leptospira antara lain sebagai berikut.

  1. Salah satu upaya adalah melindungi kulit pada saat kontak dengan air kotor dengan baju pelindung, sepatu boot, sarung tangan. Bagi pekerja di tempat resiko tinggi perlu dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin serovar copenhageni, autumnalis, hebdomadis, australis, pyrogenes. Karena transmisi sering terdapat pada air kotor maupun tanah yang terpapar Leptospira, maka mengusahakan drainase air, melakukan desinfeksi tanah menggunakan lime, serta menghindari penularan infeksi melalui kulit intak maupun mukosa saluran cerna (Kobayashi, 2001)
  2. Inada dkk juga menyarankan dilakukan imunisasi pada binatang dengan spirochaeta yang telah dimatikan menggunakan carbolic acid. Paling efektif dengan kontrol terhadap tikus, dan menghindari kontak dengan urine dan air yang terkontaminasi Leptospira.
  3. Bagi individu yang beresiko tinggi terpapar Leptospira atau akan mengunjungi daerah endemik dianjurkan memakai doksisiklin 200 mg per minggu.

DAFTAR PUSTAKA


  1. Dr. Nasronudin, dr., SpPD, K-PTI; Usman Hadi, dr., SpPD, K-PTI; Vitanata, dr.,SpPD; Erwin AT, dr.,SpPD; Bramantono, dr., SpPD; Prof. Dr. Suharto, dr., SpPD, MSc, 3. DTM&H, K-PTI; Prof. Eddy Suwandojo, dr.,SpPD, K-PTI, “Penyakit Infeksi di Indonesia, Solusi kini dan mendatang”, Airlangga University Press, Surabaya, 2007

Friday, November 20, 2009

Laporan Pendahuluan (LP) Leptospirosis

PENDAHULUAN LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis merupakan penyakit demam akut dengan manifestasi klinis bervariasi, disebabkan oleh Leptospira. Leptospirosis hingga kini masih merupakan masalah kesehatan global terutama di Negara tropis seperti Indonesia. Leptospirosis termasuk emerging infectious diseases dan akhir-akhir ini sering terjadi outbreaks di Nicaragua, Brasil, India, negara-negara Asia Tenggara juga Amerika. Masalah yang berkembang sehubungan dengan penyakit ini adalah diagnosisnya sering terlambat serta progresivitas penyakit yang sepenuhnya belum diketahui.

Berbagai faktor yang ikut menentukan progresivitas leptospirosis adalah: Faktor eksternal antara lain virulensi Leptospira, sedangkan factor internal adalah: status imun penderita. Faktor yang ikut menentukan progresivitas leptospirosis antara lain: hemolisin, lipopolisakarida, glikoprotein, lipoprotein, peptidoglikan, heat shock proteins, dan flagellin. Gen hemolisin SphH dari L. interigans strain HY-1 juga ikut berperan dalam pengendalian progresivitas leptospirosis. Leptospira yang mengalami lisis akibat aktivitas immunoglobulin maupun komplemen dapat menginduksi sekresi enzim, toksin, dan sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, TNFa) yang kemudian ikut menentukan derajat berat manifestasi klinis (Sachro, 2002).

Manifestasi klinis leptospirosis dapat anikterik maupun ikterik. Pada bentuk ikterik sering berat dan melibatkan hamper semua organ termasuk otak, liver dan ginjal Untuk itu perlu adanya upaya penajaman diagnosis dan langkah-langkah intervensi terapi guna menghambat laju progresivitas leptospirosis. Leptospirosis merupakan penyakit infeksi yang dapat mengenai semua umur serta jenis kelamin.

Penyakit ini dapat berjangkit pada berbagai musim. Leptospirosis merupakan occupational diseases, pekerjaan sebagai petani paling sering mengalami infeksi. Individu yang bekerja sebagai pembersih selokan, pekerja tambang, pekerja bangunan, pengolah makanan (daging, unggas dan ikan), industri makanan serta tempat-tempat basah dan lembab dimana tinggal binatang-binatang pengerat, sangat erat kaitannya dengan kejadian leptospirosis. Leptospira interrogans serovar ikterohemoragika pertama kali diisolasidari pasien dengan penyakit Weil’s di Jepang oleh Inada dan Ido tahun 1915.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama serovar lain hebdomadis, autumnalis, australis, pyrogenes, bataviae, dan leptospora borgpetersenii juga dapat menyebabkan leptospirosis berat. Selain menemukan mikroorganisme penyebab, Inada, Iko, Kaneko, Hoki dan Ito dalam tahun 1914-1915 juga menemukan medium biakan, sumber infeksi, gambaran klinis, gambaran laboratorium, patologi serta patofisiologi, diagnosis, therapy dan profilaksis leptospirosis. Pada perkembangan berikutnya ditemukan berbagai serovar sehingga kini lebih dari 200 serovar ditemukan di berbagai belahan dunia.

MIKROBIOLOGI DAN BIOLOGI MOLEKULER LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis merupakan spirochaeta genus Leptospira, yang terdiri atas dua spesies: Leptospira interrogans dan Leptospira biflexa. Leptospira pathogen terdiri atas 200 serotipe yang memiliki antigen utama dan terbagi dalam 23 serogrup, sebagian besar telah diidentifikasi serta terdapat di Indonesia.

Leptospira merupakan spirochaeta yang motil, dengan ukuran lebar 0,1 µm, panjang 6-20 µm, serat memiliki hooked pada akhir tubuhnya. Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang tersebar luas terutama di Negara-negara tropis. Binatang mengerat (tikus, musang, tupai) dan binatang piaraan (lembu, kerbau, babi anjing, kucing, ikan dan burung) merupakan reservoir yang penting. Leptospira dapat hidup pada tubulus renalis binatang tersebut dalam kurun waktu cukup lama.

Binatang yang terpapar Leptospira, meskipun asimptomatis, tetapi mengandung lebih dari 1010 organisme/gram didalam gimjalnya. Transmisi terjadi melalui kontak langsung (urine, darah, jaringan) yang terpapar Leptospira, maupun tidak langsung (air, tanah, lumpur) yang tercemar Leptospira. Para petani, peketja selokan, pekerja lading, pekerja tambang dan pekerja lain yang selalu kontak dengan urine maupun jaringan binatang seperti dokter hewan, pekerja laboratorium, penjagal di rumah potong, termasuk beresiko tinggi untuk dapat terinfeksi Leptospira.

Penularan langsung antara individu jarang terjadi, kalau terjadi dapat karena kontak dengan urine individu yang pernah terinfeksi pada stadium penyembuhan, karena Leptospira menetap di tubulus ginjal dan menimbulkan infeksi kronis.

Berbagai faktor yang ikut menentukan progresivitas sehingga menyebabkan kegawatan akibat leptospirosis antara lain: hemolisin, lipopolisakarida, glikoprotei, lipoprotein, heat shock protein dan flagellin. Gen hemolisin SphH dari L.interogans strain HY-1, ikut berperan dalam pengendalian progresivitas leptospirosis. Leptospira yang mengalami lisis akibat aktifitas immunoglobulin maupun komplemen dapat meninduksi sekresi enzim, toksin dan sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, TNFa) yang kemudian ikut menentukan derajat beratnya manifestasi klinis serta mendorong timbulnya penyakit Wel’s.

Genom Leptospira mempunyai panjang kira-kira 5.000 kb (kilobase), urutan genom perlu dikenal guna mengisolasi serotype, mengkode protein dan lain-lain. Genom tersebut tersusun atas 2 type kromosom, masing-masing 4.400 kb dan 350 kb, dari serovars pemona subtype newicki dan ikterohemoragiae. Leptospira mengandung 2 set 16S dan 23S rRNA. Akhir-akhir ini pengetahuan tentang Leptospira di tingkat molekuler berkembang pesat sejak dikembangkan penggunaan bacteriophage LE1 dan L.biflexa.

Berbagai komponen berhasil diidentifikasi termasuk urut-urutan (tranposases) insertion sequences (IS) coding. IS1533 memiliki rangkaian tunggal, sementara IS1500 memiliki 4 rangkaian. Baik IS1500 dan IS1533 ditemukan pada berbagai serovar. Sejumlah gen Leptospira telah berhasil diidentifikasi dan dianalisis, termasuk sintesis: beberapa asam amino, rRNA, protein-protein ribosom, polymerase RNA, DNA repair, heat shock proteins, spingomielinase, hemolisin, protein membrane luar (outer membrane proteins), protein flagellar, dan lipopolisakarida (LPS).

Pada serovar ikterohemoragiae, genom dapat diperkenalkan minimal satu serovar baru dengan identifikasi secara pulsed-field gel electrophoresis (PFGE). Meskipun demikian belakangan ini diketahui munculnya serovar yang heterogen, untuk itu masih diperlukanpenelitian lebih lanjut dengan menggunakan berbagai isolate pada masing-masing serovar (Levett, 2001). Membran luar Leptospirosis mengandung LPS dan beberapa protein (outer membrane proteins {OMPs}). LPS memiliki sifat imunogenik tinggi dan menentukan spesifitas serovar.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Dr. Nasronudin, dr., SpPD, K-PTI; Usman Hadi, dr., SpPD, K-PTI; Vitanata, dr.,SpPD; Erwin AT, dr.,SpPD; Bramantono, dr., SpPD; Prof. Dr. Suharto, dr., SpPD, MSc, 3. DTM&H, K-PTI; Prof. Eddy Suwandojo, dr.,SpPD, K-PTI, “Penyakit Infeksi di Indonesia, Solusi kini dan mendatang”, Airlangga University Press, Surabaya, 2007

Posting ini berlanjut tentang PATOFISIOLOGI LEPTOSPIROSIS

Patofisiologi Leptospirosis

PATOFISIOLOGI LEPTOSPIROSIS

Posting ini kelanjutan dari posting sebelumnya tentang ( Baca : Laporan Pendahuluan Leptospirosis )

Transmisi Leptospira terjadi melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan air, tanah, tanaman yang terpapar urine binatang mengerat yang mengandung Leptospira. Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia melaui kulit yang tidak intak maupun mukosa mulut, saluran cerna, saluran hidung dan konjungtiva mata selanjutnya mengikuti aliran darah sistemik, terjadi replikasi serta menyebar ke berbagai jaringan dan organ tubuh.

Ekstraseluler Leptospira banyak ditemukan pada berbagai jaringan dan organ, sedangkan intraseluler ditemukan didalam sel fagosit dan epitel. Organ yang paling banyak terdapat akumulasi Leptospira adalah liver, kemudian berikutnya kelenjar adrenal, ginjal. Di ginjal, Leptospira berada didalam jaringan interstisial, juga pada dinding serta lumen tubulus urine iferous. Sedang organ paling sedikit terdapat Leptospira adalah limpa, sumsum tulang, kelenjar limfe.

Dengan adanya respon imun oleh tubuh, maka Leptospira dalam sirkulasi dapat dieliminasi sehingga jumlahnya menurun. Mekanisme patologis pada leptospirosis dapat terjadi akibat efek toksik langsung dari Leptospira, maupun tidak langsung melalui kompleks imun.

Manifestasi klinis dapat berupa leptospirosis anikterik maupun ikterik, yang keduanya berlangsung melalui fase leptospiremia atau fase septik dan fase imun. Pada fase leptospiremia atau fase septic, disini keadaan patologis lebih diakibatkan oleh efek toksik langsung dari Leptospira.

Leptospira memiliki struktur kimia dan biologi yang mirip dengan bakteri Gram-negatif. Meskipun demikian efek tidak langsung melalui respon imun tidak bisa dipisahkan dengan efek toksik langsung tersebut. Efek toksik langsung tersebut berdampak pada berbagai tipe sel sehingga dikenal adanya neurotoksin, leukotoksin, hepatotoksin, kardiotoksin. Efek toksik tersebut dimungkinkan karena pada dinding selnya lipopolisakarida (endotoksin) yang merupakan bagian integral dari membrane luar (outer membrane).

Pada permukaan membrane luar terdapat komponen lipid A, serta antigen O. Lipid A merupakan bagian yang mempunyai efek toksik terhadap sel atau molekul. Efek toksik langsung tersebut terjadi bila membran mengalami lisis oleh berbagai faktor, termasuk akibat aktivitas komplemen, fagositosis maupun dampak dari pemberian antibiotika.

Lipid A yang toksik tersebut dapat mengekspresi berbagai sel host untuk memproduksi protein bioaktif termasuk sitokin. Sitokin merupakan salah satu dari sinyal molekuler yang ikut berperan pada respon imun terhadap lipoprotein pada membran luar. Leptospira yang berperan seperti halnya LPS yaitu menginduksi sekresi sitokin-sitokin (cytokine release) berikutnya.

Peptidoglikan dari dinding sel Leptospira interrogans dapat menginduksi sekresi TNF-a dari monosit yang berdampak luas terhadap timbulnya respon inflamasi lokal maupun sistemik, pada setiap organ terjadi vaskulitis yang menyeluruh. Interaksi lipoprotein, LPS dari membran luar Leptospira dengan sel-sel imun host dapat menimbulkan 3 peristiwa penting yaitu:

  1. Pertama: Produksi sitokin oleh monosit, makrofag, serta sel-sel lain. Adapun sitokin yang diproduksi adalah IL-1, IL-6, IL-8, TNFa. IL-1 diproduksi makrofag, limfosit, sel-sel endotel, dan keratinosit. Dampak dari IL-1 dapat memicu produksi prostaglandin dari hipothalamus yang menyebabkan demam serta menstimulasi reseptor nyeri.
    Demam merupakan manifestasi karena dilampauinya set-point suhu di hipothalamus. Dengan peningkatan set-point tersebut, hipothalamus mengirim sinyal untuk meningkatkan suhu tubuh. Respon tubuh adalah menggigil dan meningkatnya metabolisme basal.
    IL-1 juga menginduksi serta mempengaruhi sekresi leukotrien yang berdampak terhadap permeabilitas vaskuler dan berpotensi besar dalam penurunan tekanan darah sistemik. Selain itu IL-1 juga memiliki kontribusi pada beberapa hal seperti anoreksia, meningkatnya aktifitas PMN, peningkatan kadar transferin.
    IL-6 diproduksi makrofag dan fibroblas akibat induksi IL-1. IL-8 diproduksi makrofag, limfosit, sel-sel endotel setelah diinduksiIL-1 dan TNFa. IL-8 berperan menstimulasi migrasi dan granulasi PMN, serta ikut memicu kerusakan endotel. TNFa diproduksi makrofag, limfosit dan sel mast. Peran TNFa adalah ikut serta dalam turun-naiknya suhu tubuh, wasting, meningkatnya frekuensi pernafasan dan frekuensi denyut jantung, hipotensi dan timbulnya perdarahan pada berbagai organ.
  2. Peristiwa Kedua: adalah aktivasi komplemen. Meningkatnya aktifitas komplemen selama leptospirosis terutama C3a dan C5a juga merusak endotel. Peran C5a adalah menginduksi dan ekskresi enzim lisosom yang merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan kebocoran.
    IL-6, IL-8, YNFa, prostaglandin, serta leukotrien semuanya mempunyai potensi memicu kerusakan endotel sel sehingga memprovokasi terjadinya gangguan funsi endotel, termasuk keikut sertaan dalam proses relaksasi dan konstriksi vaskuler (Sayers, 1994; Scott, 2002).
    Akibat efek simultan dari sikotin dan komplemen tersebut menyebabkan terganggunya sirkulasi darah terutama yang melalui pembuluh darah kecil ke berbagai organ tubuh termasuk paru, ginjal, hati dan otak. Situasi tersebut merupakan manifestasi dari perubahan vaskuler selama peradangan yang dimulai segera setelah paparan Leptospira.
    Arteriol, pada awalnya mengalami vasokonstriksi dalam waktu singkat, kemudian disusul terjadinya vasodilatasi berkepanjangan yang meningkatkan tekanan cairan dalam kapiler-kapiler di sebelah hilir sehingga terjadi peningkatan perpindahan filtrat plasma ke dalam ruangan interstisial. Histamin, bradikinin merupakan mediator kimia yang di sekresi selama fase leptospiremia menyebabkan endotel kapiler menjadi renggang sehingga permeabilitas kapiler meningkat.
  3. Peristiwa Ketiga: adalah peran dalam aktivasi kaskade koagulasi. Gangguan pada kaskade koagulasi menyebabkan konsumsi fibrinogen dan trombosit yang abnormal mengakibatkan insufisiensi komponen pembekuan dan terjadi manifestasi perdarahan pada berbagai organ.

Rangkaian yang terbentuk akibat dari ketiga peristiwa tersebut, maka pada leptospirosis terjadi berbagai kelainan pada sel, jaringan dan organ. Pada liver terjadi disfungsi hepatoseluler termasuk menurunnya produksi faktor pembekuan, menurunnya produksi albumin, serta menurunnya esterifikasi kholesterol, terjadi kholestasis intrahepatik serta hiperplasi dan hiperthropi sel Kupffer, serta apoptosis hepatosit selama berlangsungnya infeksi. Manifestasi leptospirosis ikterik yang disertai gagal ginjal dilaporkan pertama kali oleh Adolf Weil di Heidelberg 100 tahun yang lalu.

Kelainan pada ginjal terjadi akibat komplek imun serta efek toksik langsung dari Leptospira yang merusak tubulus, vaskulitis, kerusakan endotel, terjadi hipoksemia, nefritis interstisial, nekrosis tubuler akut. Nefritis dan nekrosis tubuler akut, keduanya diakibatkan akibat migrasi spirochaeta kedalam ginjal serta deposisi antigen Leptospira pada glomerolus dan tubulus yang mengakibatkan terjadinya gagal ginjal dan kematian penderita.

Pada paru terjadi kongesti pulmonum, perdarahan-perdarahan, infiltrasi monosit dan neutrofil di rongga alveoler, dan Leptospira juga dapat ditemukan di dalam sel-sel endotel septa interalveoler serta kapiler. Keruasakan kapiler pulmoner mendorong terjadinya perdarahan di paru dan gagal nafas akut sebagai penyebab kematian penderita leptospirosis berat. Pada jantung terjadi miokarditis interstisial dan arteritis koroner.

Gangguan pada susunan saraf pusat terutama terjadi pada minggu pertama infeksi. Dalam masa tersebut Leptospira dapat ditemukan dalam cairan cerebrospinal, tetapi tidak akan menimbulkan meningitis sepanjang cukup tersedia imunoglobulin. Manifestasi gangguan pada sistem saraf adalah neuritis atau polineuritis, perubahan mental termasuk perasaan bingung, delirium, depresi mental, maupun psikosis yang dapat berlangsung beberapa bulan sampai 2 tahun atau lebih.

Pada mata, manifestasinya berupa iritis, iridoksiklitis, dan uveitis kronis. Pada otot , terjadi perubahan vakuola-vakuola sitoplasma dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada vaskuler terjadi vaskulitis, jejas endotel kapiler. Pada eritrosit dapat terjadi hemolisis. Manifestasi perdarahan dapat terjadi pada 33% kasus leptospirosis. Pada otot kerangka terutama daerah betis terjadi nekrosis fokal, miositis pada sel-sel otot yang disertai infiltrasi sel-sel histiosit, neutrofil dan sel plasma.

Pada fase imun infeksi Leptospira, terkait dengan respon imun diawali sewaktu sel B atau sel T berikatan dengan suatu protein yang diidentifikasi oleh sel B atau sel T sebagai benda asing. Lipoprotein pada membran luar Leptospira merupakan protein permukaan yang akan dikenali sebagai benda asing oleh sel B atau sel T. Karena dianggap asing maka lipoprotein tersebut berperan sebagai antigen, dan bersifat imunogenik sehingga dapat menstimulasi sel T dan sel B menjadi aktif, terjadi multiplikasi dan berdeferensiasi lebih lanjut.

Respon sel B terhadap lepoprotein pada protein membran luar Leptospira potensial memicu keradangan. Sel plasma yang terdapat di dalam sirkulasi, limpa, segera merespon terhadap lipoprotein Leptospira tersebut dengan menghasilkan antibodi atau imunoglobulin yang kemudian berikatan dengan antigen tersebut dan terbentuk kompleks antigen-antibodi.

Meningkatnya aktivitas sel plasma selama berlangsungnya leptospirosis termasuk meningkatnya aktifitas pembelahan secara ekstensif dan menghasilkan lebih dari 10 juta salinan antibodi dalam satu jam. Selama berlangsungnya infeksi Leptospira akan terjadi respons imun humoral yang mempengaruhi ekspresi protein.

Ada tujuh gen yang terekspresi selama berlangsungnya leptospirosis yaitu: p76, p62, p48, p45, p41, p37 dan p32 yang dapat menjadi target respons imun humoral. Dengan imunoblots dapat diidentifikasi empat dari tujuh karakteristik protein, yaitu: LipL32 (merupakan lipoprotein membran luar utama), LipL41 (lipoprotein pada permukaan membran luar), serta Hsp Gro EL dan DnaK. Oleh karena itu, identifikasi ekspresi antigen leptospirosis merupakan implikasi yang penting dalam strategi serodiagnostik dan imunoprotektif.

Dua antigen leptospirosis yang penting adalah p62 dan p76 diidentifikasi sebagai molecular chaperones yang dapat berinteraksi dengan GroL dan DnaK yang kemudian memegang kendali guna menentukan hidup-matinya sel melalui opoptosis. Baik GroL dan DnaK diketahui baik pada fase akut maupun pada fase konvalesen pada penderita-penderita leptospirosis.

Ekspresi Hsp termasuk Leptospira GroL dan DnaK mempunyai peranan dalam peningkatan suhu dan progresivitas penyakit, karena kedua gen tersebut berperan untuk mendorong ke arah kematian atau proteksi terhadap sel-sel tubuh terutama yang terlibat dalam respons imun.

Pembentukan antibodi pada paparan pertama sel B memerlukan waktu 2 minggu hingga lebih dari satu tahun. IgM merupakan imunoglobulin berukuran terbesar, dan yang paling tinggi kadarnya pada paparan pertama. IgG merupakan imunoglobulin yang terbentuk kemudian meskipun perlahan selama respons primer, tetapi pasti. IgG merupakan 80% dari semua imunoglobulin dalam sirkulasi. Pada paparan kedua IgG meningkat secara pesat dengan kekuatan yang lebih besar.

Pada waktu leptospiremia sebagian besar Leptospira akan dimusnahkan oleh imunoglobulin. Imunoglobulin akan menghancurkan Leptospira yang mereka ikat melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung.

Efek langsung terjadi sewaktu pengikatan antigen ke bagian Fab antibodi mengakibatkan kompleks antigen-antibodi terpresipitasi keluar sirkulasi atau mengalami aglutinasi bersama kompleks lain. Efek tidak langsung terjadi bila bagian Fc diaktifkan. Hal ini merangsang reaksi peradangan , termasuk mengaktifkan komplemen, peningkatan aktivitas makrofag, dan fagositosis. Leptospira yang tinggal pada beberapa organ liver, limpa, ginjal dan lain-lain menginduksi terjadinya berbagai keadaan patologis sehingga memunculkansindrom klinis

DAFTAR PUSTAKA

  1. Dr. Nasronudin, dr., SpPD, K-PTI; Usman Hadi, dr., SpPD, K-PTI; Vitanata, dr.,SpPD; Erwin AT, dr.,SpPD; Bramantono, dr., SpPD; Prof. Dr. Suharto, dr., SpPD, MSc, 3. DTM&H, K-PTI; Prof. Eddy Suwandojo, dr.,SpPD, K-PTI, “Penyakit Infeksi di Indonesia, Solusi kini dan mendatang”, Airlangga University Press, Surabaya, 2007

Posting ini berlanjut tentang Manifestasi Klinis Leptospirosis

Thursday, November 19, 2009

Laporan Pendahuluan (LP) Chikungunya

PENDAHULUAN CHIKUNGUNYA

Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus chikungunya yang disebarkan ke manusia melalui gigitan nyamuk. Sebagai penyebar penyakit adalah nyamuk Aedes aegypti; juga dapat oleh nyamuk Aedes albopictus. Nama penyakit berasal dari bahasa Swahili yang berarti “yang berubah bentuk atau bungkuk”, mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi yang hebat.

Masa inkubasi berkisar 1-4 hari, merupakan penyakit yang self-limiting dengan gejala akut yang berlangsung 3-10 hari. Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien, yang kadang-kadang berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Meskipun tidak pernah dilaporkan menyebabkan kematian, masyarakat sempat dicemaskan karena penyebaran penyakit yang mewabah, disertai dengan keluhan sendi yang mengakibatkan pasien lumpuh. Untuk memahami lebih mendalam, dilakukan review terhadap penyakit ini

EPIDEMIOLOGI CHIKUNGUNYA

Chikungunya disebarkan / ditularkan kemanusia oleh gigitan nyamuk aedes yang terinfeksi oleh virus Chikungunya. Nyamk terinfeksi dengan virus saat ia menggigit pasien sakit Chikungunya; dan setelah sekitar seminggu, nyamuk dapat menularkan virus saat ia menggigit orang lain yang sehat. Penyakit tidak dapat menularkan langsung dari satu orang ke orang lain. Wabah Chikungunya dapat berjangkit dimana nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albocpictus hidup meliputi daerah tropis terutama daerah perkotaan.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS CHIKUNGUNYA


Virus chikungunya merupakan anggota genus Alphavirus dalam family Togaviridae. Strain asia merupakan genotype yang berbeda dengan yang di afrika. Virus Chikungunya disebut juga Arbovirus A Chikungunya Type CHIK, CK. Virus Chikungunya masuk keluarga Togaviridae, genus alphavirus. Virions mengandung satu molekul single standed RNA. Virus dapat menyerang manusia dan hewan.

Virions dibungkus oleh lipid membrane; plemorfik; spherical; dengan diameter 70 µm. Pada permukaan envelope didaptkan glycoprotein spikes (terdiri atas 2 virus protein membentuk heterodimer). Nucleopapsids isometric; dengan diameter 40 µm.

Nyamuk

Nyamuk Aedes aegypti berukuran kecil disbanding nyamuk lain: ukuran badan 3-4 mm, berwarna hitam dengan hiasan titik-titik putih dibadannya; dan pada kakinya warna putih melingkar. Nyamuk dapat hidup berbulan-bulan. Nyamuk jantan tidak menggigit manusia, ia makan buah. Hanya nyamuk betina yang menggigit; yang diperlukan untuk membuat telur. Telur nyamuk aedes diletakkan induknya menyebar; berbeda dengan telur nyamuk lain yang dikeluarkan berkelompok.

Nyamuk bertelur di air bersih. Telur menjadi pupa dalam beberapa minggu. Nyamuk bila terbang hampir tidak mengeluarkan bunyi; sehingga manusia yang diserang tidak mengetahui kehadirannya; menyerang dari bawah atau dari belakang; terbang sangat cepat. Telur nyamuk Aedes dapat bertahan lama dalam kekeringan (dapat lebih dari 1 tahun). Virus dapat masuk dari nyamuk ke telur; nyamuk dapat bertahan dalam air yang chlorinated.

Nyamuk Aedes aegypti merupakan vector Chikungunya (CHIK) virus (alpha virus). Beberapa nyamuk resisten terhadap CHIK virus namun sebagian susceptible. Ternyata Susceptbility gene berada di kromosom 3. Vektor Chikunguya di Asia adalah Aedes aegypti, Aedes albopticus. Di Afrika adalah Aedes furcifer dan Aedes africanus

MANIFESTASI PENYAKIT CHIKUNGUNYA

Masa inkubasi dari demam Chikungunya 2-4 hari. Viremia dijumpai kebanyakan dalam 48 jam pertama, dan dapat dijumpai sampai 4 hari pada beberapa pasien. Manifestasi penyakit berlangsung 3-10 hari. Virus ini termasuk self limiting diseases alias hilang dengan sendirinya.

Namun rasa nyeri sendi mungkin masih tertinggal dalam hitungan minggu sampai bulan. Gejala demam Chikungunya mirip dengan demam berdarah dengue yaitu demam tinggi, menggigil, sakit kepala, mual-muntah, sakit perut, nyeri sendi dan otot, serta bintik-bintik merah dikulit terutama badan dan lengan.

Bedanya dengan demam berdarah dengue, pada Chikungunya tidak ada perdarahan hebat, renjatan (syock) maupun kematian. Nyeri sendi ini terutama mengenai sendi lutut, pergelangan kaki serta persendian jari tangan dan kaki.

Gejala utama Chikungunya adalah demam tinggi, sakit kepala, punggung, sendi yang hebat, mual, muntah, nyeri mata dan timbulnya rash/ruam kulit.

Ruam kulit berlangsung 2-3 hari, demam berlangsung 2-5 hari dan akan sembuh dalam waktu 1 minggu sejak pasien jatuh sakit. Sakit sendi (arthralgia atau arthritis; sendi tangan dan kaki) sering menjadi keluhan utama pasien.

Keluhan sakit sendi kadang-kadang masih terasa dalam 1 bulan setelah demam hilang. Penyakit ini merupakan penyakit yang bersifat self limiting (sembuh dengan sendirinya) dan tidak brakibat kematian. Peranh dilaporkan terjadi kerusakan sendi yang dikaitkan dengan infeksi Chikungunya.

DIAGNOSIS BANDING DAN DIAGNOSIS PASTI CHIKUNGUNYA

Viral arthropaty diketahui dan dijumpai pada beberapa infeksi virus: dengue, O’nyong-nyong, chikungunya, Mayaro, Ross River, Sindbis dan Bermah Forest. Gejala sendi akibat virus ini biasanya hanya berlangsung singkat seminggu, kecuali pada beberapa kasus Chikungunya.

Penyakit ini banyak kemiripan dengan demam dengue / DHF; hanya saja: serangan demam lebih singkat; sakit sendi lebih lama dan tidak terjadi kematian.

Chikungunya dicurigai bila seseorang menderita demam mendadak, dengan beberapa gejala berikut: sakit sendi, sakit kepala, sakit pinggang/punggung, fotofobia dan rash/ruam kulit; serta dalam seminggu terakhir berada didaerah terjangkit Chikungunya. Diagnosis pasti bila terdapat salah satu hal berikut:

  1. Pemeriksaan titer antibody naik 4 kali lipat
  2. Isolasi virus
  3. Deteksi virus dengan PCR

PROGNOSIS CHIKUNGUNYA

Penyakit ini bersifat self limiting diseases, tidak pernah dilaporkan kejadian kematian. Keluhan sendi mungkin berlangsung lama.

Brighton meneliti pada 107 kasus infeksi Chikungunya, 87,9 % sembuh sempurna; 3,7% mengalami kekakuan sendi atau mild discomfort; 2,8% mempunyai persisten residual joint stiffnes, tetapi tidak nyeri; dan 5,6% mempunyai keluhan sendi yang persisten, kaku dan sering mengalami efusi sendi.

PENGOBATAN CHIKUNGUNYA

Tidak ada vaksin maupun obat khusus untuk Chikungunya. Dianjurkan istirahat untuk mengurangi keluhan akut. Exercise berat dapat mengkambuhkan gejala sendi.

Belum ada obat spesifik untuk membunuh virus penyebab penyakit; pasien yang merasa sakit Chikungunya dapat minum penghilang sakit (analgetik), misalnya parasetamol; namun hindari pemakaian aspirin. Pasien perlu istirahat, minum banyak air dan pemeriksaan diri ke dokter.

PENCEGAHAN CHIKUNGUNYA

Pencegahan ditujukan untuk mengendalikan nyamuk dan menghindari gigitan nyamuk. Pada saat ini belum ada vaksin di pasaran untuk mencegah Chikungunya.

Tindakan pencegahan Chikungunya di daerah dimana terdapat nyamuk Aedes aegypti adalah menghilangkan tempat dimana nyamuk dapat meletakkan telurnya, terutama pada tempat penyimpanan air buatan, misalnya bak mandi, kolam ikan, ban mobil atau kaleng kosong.

Tempat penyimpanan air hujan atau penyimpanan air (kontainer plastik, drum) hendaknya tertutup rapat. Ban mobil bekas, kaleng kosong sebaiknya dimusnahkan.

Tempat minum hewan peliharaan/burung dan vas bunga hendaknya dikosongkan atau diganti setidaknya seminggu sekali. Semua upaya tersebut diharapkan dapat membasmi telur nyamuk dan mengurangi jumlah nyamuk di daerah tersebut.

Pada wisatawan atau juga penduduk di daerah terjangkit Chikungunya, resiko digigit nyamuk akan berkurang dengan pemasangan air conditioning atau memasang kasa pada jendela atau pintu.

Memakai repelen yang mengandung 20-30% DEET pada kulit tubuh yang terbuka atau pakaian akan mengurangi kemungkinan tergigit nyamuk.

Pencegahan Chikungunya ditekankan pada usaha terus-menerus, berkesinambungan, community based, integrated mosquito control, tidak boleh terlalu mengandalkan insektisida baik untuk jentik nyamuk maupun nyamuk dewasa (chemical larvicide atau adulticide).

Pencegahan wabah penyakit memerlukan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dalam usaha meningkatkan kewaspadaan terhadap penyakit Chikungunya, serta bagaimana mengenali penyakit dan bagaimana mengendalikan nyamuk yang dapat menularkan/menyebarkan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Nasronudin, dr., SpPD, K-PTI, “Penyakit Infeksi di Indonesia”, 2007, Air langga University Press, Surabaya.

Monday, November 16, 2009

Askep Gagal Jantung Kongestive

TINJAUAN TEORI GAGAL JANTUNG KONGESTIF

DEFINISI GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Gagal jantung kongestif - Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadp oksigen dan nutrien. (Diane C. Baughman dan Jo Ann C. Hockley, 2000) Suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan pengisian ventrikel kiri (Braundwald)

ETIOLOGI GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh:

  1. Kelainan otot jantung Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hiprtensi arterial, dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
  2. Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpuikan asam laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitaas menurun.
  3. Hipertensi sistemik atau pulmonal (peningkatan afterload) meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mngakibatkan hipertrofi serabut otot jantung.
  4. Peradangan dan penyakit myocardium degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
  5. Penyakit jantung lain. Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya, yang ssecara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner), ketidak mampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak afteer load
  6. Faktor sistemik. Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (mis : demam, tirotoksikosis ), hipoksia dan anemia peperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elekttronik dapat menurunkan kontraktilitas jantung

Grade gagal jantung menurut New york Heart Association Terbagi menjadi 4 kelainan fungsional :

  1. Timbul gejala sesak pada aktifitas fisik berat
  2. Timbul gejala sesak pada aktifitas fisik sedang
  3. Timbul gejala sesak pada aktifitas ringan
  4. Timbul gejala sesak pada aktifitas sangat ringan / istirahat

MANIFESTASI KLINIS GAGAL JANTUNG KONGESTIF.

  1. Tanda dominan : Meningkatnya volume intravaskuler. Kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat akibat penurunan curah jantungManifestasi kongesti dapat berbeda tergantung pada kegagalan ventrikel mana yang terjadi.
  2. Gagal jantung kiri : Kongesti paru menonjol pada gagal ventrikel kiri karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Manifestasi klinis yang terjadi yaitu :
    1. Dispneu : Terjadi akibat penimbunan cairan dalam alveoli dan mengganggu pertukaran gas. Dapat terjadi ortopnu. Bebrapa pasien dapat mengalami ortopneu pada malam hari yang dinamakan Paroksimal Nokturnal Dispnea (PND)
    2. Batuk
    3. Mudah lelah : Terjadi karena curah jantung yang kurang yang menghambat jaringan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuangan sisa hasil katabolisme. Juga terjadi karena meningkatnya energi yang digunakan untuk bernafas dan insomnia yang terjadi karena distress pernafasan dan batuk.
    4. Kegelisahan dan kecemasan. Terjadi akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernafas dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik.
  3. Gagal jantung kanan
    1. Kongestif jaringan perifer dan viseral.
    2. Edema ekstrimitas bawah (edema dependen), biasanya edema pitting, penambahan berat badan
    3. Hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan atas abdomen terjadi akibat pembesaran vena di hepar
    4. Anorexia dan mual. Terjadi akibat pembesaran vena dan statis vena dalam rongga abdomen.
    5. Nokturia
    6. Kelemahan.

EVALUASI DIAGNOSTIK GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Meliputi evaluasi manifestasi klinis dan pemantauan hemodinamik. Pengukuran tekanan preload, afterload dan curah jantung dapat diperoleh melalui lubang-lubang yang terl;etak pada berbagai interfal sepanjang kateter. Pengukuran CVP (N 15-20 mmhg) dapat menghasilkan pengukuran preload yang akurat .PAWP atau pulmonary artery wedge pressure adalaah tekanan penyempitan arteri pulmonal dimana yang diukur adalah takanan akhir diastolic ventrikel kiri. Curah Jantung diukur dengan suatu lumen termodelusi yang dihubungjkn dengan komputer

PENATALAKSANAAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Tujuan pengobatan adalah :,

  1. Dukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
  2. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraktilitas miokarium dengan preparat farmakologi
  3. Membuang penumpukan air tubuh yang berlebihan dengan cara memberikan terapi antidiuretik, diit dan istirahat.

Terapi Farmakologis :

  1. Glikosida jantung. Digitalis, meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Efek yang dihasilkan : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan diuresisidan mengurangi edema
  2. Terapi diuretik. Diberikan untuk memacu eksresi natrium dan air melalui ginjal. Penggunaan harus hati–hati karena efek samping hiponatremia dan hipokalemia
  3. Terapi vasodilator. Obat-obat fasoaktif digunakan untuk mengurangi impadansi tekanan terhadap penyemburan darah oleh ventrikel. Obat ini memperbaiki pengosongan ventrikel dan peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat dituruinkan

Dukungan diet: Pembatasan Natrium untuk mencegah, mengontrol, atau menghilangkan edema.

PROSES KEPERAWATAN

PENGKAJIAN KEPERAWATAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF

Fokus pengkajian keperawatan ditujukan untuk mengobservasi adanya tanda-tanda dan gejala kelebihan ciaran paru dan tanda serta gejala sistemis.

  1. Aktifitas / istirahat: Keletihan, insomnia, nyeri dada dengan aktifitas, gelisah, dispnea saat istirahat atau aktifitas, perubahan status mental, tanda vital berubah saat beraktifitas.
  2. Sirkulasi: Riwayat HT IM akut, GJK sebelumnya, penyakit katup jantung, anemia, syok dll. Tekanan Darah, tekanan nadi frekuensi jantung, irama jantung, nadi apical bunyu jantung S3 galoop, nadi perifer bekurang, perubahan dalam denyutan nadi jugularis, warna kulit kebiruan, punggung kuku pucat atau sianosis, hepar adakah pembesaran bunyi nafas krekles atau ronkhi, edema.
  3. Integritas ego: Ansietas, stress, marah, takut dan mudah tersinggung
  4. Eliminasi: Gejala penurunan berkemih, urin berwarna pekat, berkemih malam hari, diare / konsipasi.
  5. Makanan / cairan: Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penambahan berat badan signifikan, Pembengkakan ektrimitas bawah, diit tinggi garam, pengunaan diuretic, distensi abdomen edema umum dll.
  6. Hygiene: Keletihan selama aktifitas perawatan diri, penampilan kurang
  7. Neurosensori: Kelemahan, pusing, letargi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung
  8. Nyeri / kenyamanan: Nyeri dada akut/kronik, nyeri abdomen, sakit pada otot, gelisah
  9. Pernafasan - keamanan: Dispnea saat aktifitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk dengan atau tanpa sputum, penggunaan bantuan otot pernafasan oksigen dll. Bunyi nafas, warna kulit
  10. Interaksi sosial: Penurunan aktifitas yang biasa dilakukan

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK GAGAL JANTUNG KONGESTIF

  1. Foto thorax dapat mengungkapkan adanya pembesaran jantung, edema atau efusi pleura yang menegaskan diagnosa CHF.
  2. EKG dapat mengungkapkan adanya takhikardi, hipertropi bilik jantung dan iskemia (jika disebabkan oleh AMI).
  3. Elektrolit serum yang mengungkapkan kadar natrium yang rendah sehingga hasil hemodilusi darah dari adanya kelebihan retensi air.

DIAGNOSA KEPERAWATAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF

  1. Penurunan perfusi jaringan behubungan dengan menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis, dan kemungkinan thrombus atau emboli
    1. Kemungkinan dibuktikan oleh :
      1. Daerah perifer dingin
      2. EKG elevasi segmen ST & Q patologis pada lead tertentu,
      3. EKG elevasi segmen ST & Q patologis pada lead tertentu,
      4. Kapiler refill Lebih dari 3 detik
      5. Nyeri dada
      6. Gambaran foto torak terdpat pembesaran jantung & kongestif paru (tidak selalu)
      7. HR lebih dari 100 x/menit, TD > 120/80AGD dengan : pa O2: > 45 mmHg
  2. Kerusakan pertukarann gas, Dapat dihubungkan oleh : Gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar-kapiler (atelektasis , kolaps jalan nafas/alveolar, edema paru/efusi, sekresi berlebihan/perdarahan aktif).
    1. Kemungkinan dibuktikan oleh
      1. Dispnea berat
      2. Gelisah
      3. Cyanosis
      4. Perubahan GDA
      5. Hipoksemia
    2. Tujuan :
      1. Oksigenasi dengan GDA dalam rentang normal (pa O2 > 45 mmHg
    3. Kriteria Hasil :
      1. Tidak sesak nafas, tidak gelisah, GDA dala batas Normal ( pa O2 <>2 > 45 mmHg
    4. Tindakan :
      1. Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot Bantu pernafasan
      2. Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan / tidak adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan missal krakles, ronki dll.
      3. Lakukan tindakan untuk memperbaiki / mempertahankan jalan nafas misalnya: batuk, penghisapan lendir dll
      4. Tinggikan kepala / tempat tidur sesuai kebutuhan / toleransi pasien
      5. Tinggikan kepala / tempat tidur sesuai kebutuhan / toleransi pasien
      6. Kemungkinan terhadap kelebihan volume cairan ekstravaskuler
  3. Faktor resiko meliputi : Penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium / retensi air, peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan protein plasma ( menyerap cairan dalam area interstisial / jaringan )
    1. Kemungkinan dibuktikan oleh :
      1. Tidak adanya tanda-tanda dan gejala gejala membuat diagnosa actual
    2. Tujuan :
      1. Keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan selama dilakukan tindakan keperawatan selama di RS
    3. Kriteria Hasil: Mempertahankan keseimbangan cairan seperti dibuktikan oleh
      1. Tekanan darah dalam batas normal
      2. Tak ada distensi vena perifer/ vena dan edema dependen
      3. Paru bersih dan
      4. Berat badan ideal ( BB idealTB –100 ± 10 %)
    4. Tindakan :
      1. Ukur masukan/haluaran, Catat penurunan pengeluaran, sifat konsentrasi, hitung keseimbangan cairan
      2. Observasi adanya oedema dependen
      3. Timbang BB tiap hari
      4. Pertahankan masukan total caiaran 2000 ml/24 jam dalam toleransi kardiovaskuler
      5. Kolaborasi : pemberian diet rendah natrium, berikan diuretik
      6. Kaji JVP setelah terapi diuretik
      7. Pantau CVP dan tekanan darah
  4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan: Penurunan volume paru, hepatomegali, splenomigali
    1. Kemungkinan dibuktikan oleh :
      1. Perubahan kedalaman dan kecepatan pernafasan
      2. Gangguan pengembangan dada
      3. GDA tidak normal
    2. Tujuan :
      1. Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di RS
      2. RR Normal
      3. Tak ada bunyi nafas tambahan dan penggunaan otot bantu pernafasan.
      4. GDA Normal
    3. Tindakan :
      1. Monitor kedalaman pernafasan, frekuensi, dan ekspansi dada
      2. Catat upaya pernafasan termasuk penggunaan otot Bantu nafas
      3. Auskultasi bunyi nafas dan catat bila ada bunyi nafas tambahan
      4. Kolaborasi pemberian Oksigen dan pemeriksaan GDA
  5. Intoleransi aktifitas dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari, Dapat dihubungakan dengan : ketidakseimbangan antara suplai oksigen miocard dan kebutuhan, adanya iskemik/nekrotik jaringan miocard.
    1. Kemungkinan dibuktikan oleh :
      1. Gangguan frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas
      2. Terjadinya disritmia
      3. Kelemahan umum
    2. Tujuan :
      1. Terjadi peningkatan toleransi pada klien setelah dilaksanakan tindakan keperawatan selama di RS
    3. Kriteria Hasil :
      1. Frekuensi jantung 60-100 x/ menit dan TD 120-80 mmHg
    4. Tindakan :
      1. Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD selama dan sesudah aktifitas
      2. Tingkatkan istirahat (di tempat tidur)
      3. Batasi aktifitas pada dasar nyeri dan berikan aktifitas sensori yang tidak berat
      4. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktifitas, contoh bengun dari kursi bila tidak ada nyeri, ambulasi dan istirahat selama 1 jam setelah makan.
      5. Kaji ulang tanda gangguan yang menunjukan tidak toleran terhadap aktifitas atau memerlukan pelaporan pada dokter

DAFTAR PUSTAKA

  1. Brunner & Suddarth, Buku Ajar Keperawatan Mdikal Bedah, edisi 8, 1997, EGC, Jakarta.
  2. Doenges E. Marlynn, Rencana Asuhan Keperawatan, 2000, EGC, Jakarta.
  3. Gallo & Hudak, Keperawatan Kritis, edisi VI, 1997, EGC Jakarta
  4. Noer Staffoeloh et all, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, 1999, Balai Penerbit FKUI, Jakarta
  5. Nursalam. M.Nurs, Managemen Keperawatan : Aplikasi dalam Praktek Keperawatan Profesional, 2002, Salemba Medika, Jakarta
  6. Russel C Swanburg, Pengantar keparawatan, 2000, EGC, Jakarta.

Askep Asma

Download Askep kapukonline.com Update Askep | Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Asma

PENGERTIAN ASMA

  1. Asma Bronkial adalah penyakit pernafasan obstruktif yang ditandai oleh spasme akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi aliran udara dan penurunan ventilasi alveolus. (Huddak & Gallo,
  2. Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten, reversibel dimana trakea dan bronchi berspon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu.(Smeltzer, 2002 : 611)
  3. Asma adalah obstruksi jalan nafas yang bersifat reversibel, terjadi ketika bronkus mengalami inflamasi/peradangan dan hiperresponsif. (Reeves, 2001 : 48)

Asma

PENYEBAB ASMA

  1. Faktor Ekstrinsik (asma imunologik / asma alergi)
    1. Reaksi antigen-antibodi
    2. Inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang)
  2. Faktor Intrinsik (asma non imunologi / asma non alergi)
    1. Infeksi : parainfluenza virus, pneumonia, mycoplasmal
    2. Fisik : cuaca dingin, perubahan temperatur
    3. Iritan : kimia
    4. Polusi udara : CO, asap rokok, parfum
    5. Emosional : takut, cemas dan tegang
    6. Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus. (Suriadi, 2001 : 7)

TANDA DAN GEJALA ASMA

  1. Stadium dini
    1. Faktor hipersekresi yang lebih menonjol
      1. Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek
      2. Rochi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
      3. Whezing belum ada
      4. Belum ada kelainan bentuk thorak
      5. Ada peningkatan eosinofil darah dan IG E
      6. BGA belum patologis
    2. Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan
      1. Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
      2. Whezing
      3. Ronchi basah bila terdapat hipersekres
      4. Penurunan tekanan parsial O2
  2. Stadium lanjut/kronik
    1. Batuk, ronchi
    2. Sesak nafas berat dan dada seolah–olah tertekan
    3. Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan
    4. Suara nafas melemah bahkan tak terdengar (silent Chest)
    5. Thorak seperti barel chest
    6. Tampak tarikan otot sternokleidomastoideus
    7. Sianosis
    8. BGA Pa O2 kurang dari 80%
    9. Ro paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri
    10. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik (Halim Danukusumo, 2000, hal 218-229)

PATOFISIOLOGI / PATHWAYS ASMA

Download Pathway Asma Via Ziddu

TANDA DAN GEJALA ASMA

  1. Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan/tanpa stetoskop
  2. Batuk produktif, sering pada malam hari
  3. Nafas atau dada seperti tertekan, ekspirasi memanjang

PEMERIKSAAN PENUNJANG ASMA

  1. Spirometri
  2. Uji provokasi bronkus
  3. Pemeriksaan sputum
  4. Pemeriksaan cosinofit total
  5. Uji kulit
  6. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
  7. Foto dada
  8. Analisis gas darah

PENGKAJIAN ASMA

  1. Awitan distres pernafasan tiba-tiba
    1. Perpanjangan ekspirasi mengi
    2. Penggunaan otot-otot aksesori
    3. Perpendekan periode inpirasi
    4. Sesak nafas
    5. Restraksi interkostral dan esternal
    6. Krekels
  2. Bunyi nafas : mengi, menurun, tidak terdengar
  3. Duduk dengan posisi tegak : bersandar kedepan
  4. Diaforesis
  5. Distensi vena leher
  6. Sianosis : area sirkumoral, dasar kuku
  7. Batuk keras, kering : batuk produktif sulit
  8. Perubahan tingkat kesadaran
  9. Hipokria
  10. Hipotensi
  11. Pulsus paradoksus >10 mm
  12. Dehidrasi
  13. Peningkatan anseitas : takut menderita, takut mati

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL PADA ASKEP ASMA

  1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkospasme : peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental : penurunan energi/kelemahan
  2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen, kerusakan alveoli
  3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan masukan oral
  4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi/tidak mengenal sumber informasi

INTERVENSI KEPERAWATAN ASKEP ASMA

  1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas
    1. Tujuan :
      1. Bersihan jalan nafas efektif
    2. Kriteria Hasil :
      1. Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih/jelas
      2. Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas mis : batuk efektif dan mengeluarkan sekret
    3. Intervensi :
      1. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, mis; mengi, krekels, ronki
      2. Kaji/pantau frekuensi pernafasan
      3. Catat adanya/derajat diespnea mis : gelisah, ansietas, distres pernafasan, penggunaan otot bantu
      4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman mis : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur
      5. Pertahankan polusi lingkungan minimum
      6. Dorong/bantu latihan nafas abdomen/bibir
      7. Observasi karakteristik batuk mis : menetap, batuk pendek, basah
      8. Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hr ss toleransi jantung dan memberikan air hangat, anjurkan masukkan cairan sebagai ganti makanan
      9. Berikan obat sesuai indikas
      10. Awasi/buat grafik seri GDA, nadi oksimetri, foto dada
  2. Kerusakan pertukaran gas
    1. Tujuan :
      1. Pertukaran gas efektie dan adekuat
    2. Kriteria Hasil :
      1. Menunjukkan perbaikan vertilasi dan oksigen jaringan adekuat dalam rentang normal dan bebas gejala distres pernafasan
      2. Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan /situasi
    3. Intervensi :
      1. Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan, catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir, ketidak mampuan bicara / berbincang
      2. Tinggikan kepala tempat tidur, pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernafas, dorong nafas dalam perlahan / nafas bibir sesuai kebutuhan / toleransi individu.
      3. Dorong mengeluarkan sputum : penguapan bila diindikasikan.
      4. Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan / bunyi tambahan.
      5. Awasi tingkat kesadaran / status mental, selidiki adanya perubahan.
      6. Evaluasi tingkat toleransi aktivitas.
      7. Awasi tanda vital dan irama jantung.
      8. Awasi / gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri
      9. Berikan oksigen yang ssi idikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
  3. Perubahan nutrisi kurang dari tubuh
    1. Tujuan :
      1. Kebutuhan nutrisi terpenuhi
    2. Kriteria Hasil :
      1. Menunjukan peningkatan Berat Badan
      2. Menunjukan perilaku / perubahan pada hidup untuk meningkatkan dan / mempertahanka berat yang tepat.
    3. Intervensi :
      1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan, catat derajat kesulitan makan, evaluasi Berat Badan.
      2. Auskultasi bunyi usus.
      3. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
      4. Dorong periode istirahat, 1jam sebelum dan sesudah makan berikan makan porsi kecil tapi sering.
      5. Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
      6. Hindari maknan yang sangat panas / dingin.
      7. Timbang BB sesuai induikasi
      8. Kaji pemeriksaan laboratorium, ex : albumin serum.
  4. Kurang pengetahuan
    1. Tujuan :
      1. Pengetahuan meningkat
    2. Kriteria Hasil :
      1. Menyatakan pemahaman kondisi / proses penyakit dan tindakan.
      2. Mengidentifikasi hubungan tanda / gejala yang ada dari proses penyakit dan menghubung dengan faktor penyebab.
      3. Melakukan perubahan pola hidup dan berparisipasi dalam program pengobatan.
    3. Intervensi:
      1. Jelaskan proses penyakit individu dan keluarga
      2. Instrusikan untuk latihan nafas dan batuk efektif.
      3. Diskusikan tentang obat yang digunakan, efek samping, dan reaksi yang tidak diinginkan
      4. Beritahu tehnik pengguanaan inhaler ct : cara memegang, interval semprotan, cara membersihkan.
      5. Tekankan pentingnya perawatan oral/kebersihan gigi
      6. Beritahu efek bahaya merokok dan nasehat untuk berhenti merokok pada klien atau orang terdekat
      7. Berikan informasi tentang pembatasan aktivitas

DAFTAR PUSTAKA

  1. Arif Mansyoer (1999). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jilid I. Media Acsulapius. FKUI. Jakarta.
  2. Doenges, EM (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta. EGC.
  3. Heru Sundaru (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. BalaiPenerbit FKUI. Jakarta.
  4. Hudack & gallo (1997). Keperawatan Kritis Edisi VI Vol I. Jakarta. EGC.
  5. Tucker, SM (1998). Standar Perawatan Pasien. Jakarta. EGC.